BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Subak dan Konsep
Trihita Karana
2.1.1
Pengertian Subak
Subak adalah suatu masyarakat hukum
adat yang memiliki karakteristik sosioagraris- religius, yang merupakan
perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak
seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam peraturan-daerah pemerintah daerah
Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/l972. Arif (l999) memperluas pengertian
karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan
menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik
sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas,
termasuk diantaranya teknis pertanian, dan teknis irigasi.
Subak merupakan suatu warisan budaya Bali
yang berupa suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya
yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada
aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama.
(Kadek
Fendy Sutrisna,2011)
Subak merupakan organisasi pengairan
tradisional dalam bidang pertanian , yang berdasakan atas seni dan budaya yang diwarisi secara turun temurun oleh
masyarakat di Pulau Dewata.
(
I Wayan Windia,2011)
2.1.2
Pengertian Konsep Trihita Karana
Tri Hita
Karana berarti tiga hubungan yang harmonis atau penyebab terwujudnya
kesejahteraan hibup .
Bagian-bagian dari Tri Hita
Karana yaitu:
1. Parahyangan:
Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pawongan:
Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak.
Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak.
3. Palemahan:
Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
2.2
Hubungan Subak Sebagai Sistem Irigasi Tradisional Bali Dengan Konsep Trihita
Karana
Dalam
pengelolaan Irigasi Subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri Hita Karana
(THK) yang memiliki Hubungan timbale balik antara Parahyangan yakni Hubungan
yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa,
Pawongan Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut
dengan Krama Subak, Palemahan : Hubungan yang harmonis antara anggota Subak
dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
THK menunjukkan bahwa dengan
menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi subak, maka secara
teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar
subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah
kordinasi akan dapat dihindari. terkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan
munculnya harmoni dan kebersamaan dalam engelolaan air irigasi dalam sistem
irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya
kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota
subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air
irigasi). Di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar, dilakukan kebijakan sistem
pelampias memberikan tambahan air bagi
sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokai bangunan-bagi lingkungan lingkungan 4
di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota
subak.
Subak sebagai
suatu sistem irigasi merupakan teknologi sepadan yang telah menyatu dengan
sosio-kultural masyarakat setempat. Kesepadan teknologi system subak
ditunjukkan oleh anggota subak tersebut melalui pemahaman terhadap cara
pemanfaatan air irigasi yang berlanadaskan Tri Hita Karana (THK) yang menyatu
dengan cara membuat bangunan dan jaringan fisik irigasi, cara mengoperasikan,
kordinasi pelaksanaan operasi dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pekaseh
(ketua subak), bentuk kelembagaan, dan informasi untuk pengelolaannya.
Sistem subak
mampu melakukan pengelolaan irigasi dengan dasar-dasar harmoni dan kebersamaan
sesuai dengan prinsip konsep THK, dan dengan dasar itu sistem subak mampu
mengantisipasi kemungkinan kekurangan air (khususnya pada musim kemarau),
dengan mengelola pelaksanaan pola tanam sesuai dengan peluang keberhasilannya.
Selanjutnya, sistem subak sebagai teknologi sepadan, pada dasarnya memiliki
peluang untuk ditransformasi, sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologinya
dipenuhi.
2.3 Peranan Subak
Dalam Pengelolaan Air Irigasi
Subak, merupakan sistem irigasi yang
berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga
yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan subak yang
sudah hampir satu millenium sampai sekarang ini mengisyaratkan bahwa subak
memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari
(sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistansinya kini mulai terancam.
Ancaman terhadap kelestarian subak adalah bersumber dari adanya
perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang
mengiringi derasnya arus globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali.
Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi
subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak
pemerhati irigasi di mancanegara.Sebab, jika subak yang dipandang sebagai
salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna maka dikhawatirkan stabilitas
sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.
Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali,
terutama karena upacara ritual keagamaan yang senantiasa menyertai setiap
aktivitaasnya, namun ia memiliki nilai-nilai leluhur yang bersifat universal
dan sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai
tersebut adalah falsafah Tri Hita Karana( harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni
antaramanusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia) yang
melandasi setiap kegiatan subak. Tri Hita Karana secara implisit
mengandung pesan agar kita mengelola sumberdaya air secara arif untuk
menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, subak dapat didefinisikan sebagai
lembaga irigasi yang bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana
dengan fungsi utamanya adalah pengelolaa air irigasi untuk memproduksi tanaman
pangan khususnya padi dan palawija Ketiga harmoni tadi menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat
provinsi dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai. DAS dari hulu ke hilir dikelompokkan menjadi:
- DAS hulu, sebagai zona tangkapan air, maka hutan-hutan
dijaga agar kemampuan menampung air hujan besar.
- DAS tengah, sebagai zona konservasi air dan zona
penggunaan air, yang diwujudkan dalam bentuk sistem usahatani konservasi
atau wanatani (agroforestry).
- DAS hilir, sebagai zona penggunaan air, di mana sawah
irigasi dominan. Subak lokal di DAS hilir mengurus dan memperhatikan
pembagian air irigasi dan pengendalian cara penggunaan air oleh anggotanya
dengan berpedoman kepada awig-awig (peraturan tertulis dan sanksi atas
pelanggaran).
Sistem
Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan
air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat
dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan seyogianya
mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi).
Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan
(sustainable agricultural development) telah diimplementasikan dalam sistem
Subak. Subak memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan “Standar
Perencanaan Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan jaringan
irigasinya telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang disyaratkan yaitu
:
v Bangunan utama disebut empelan (bendung)
atau buka (intake)
v Saluran disebut telabah (bila
berupa saluran terbuka) atau aungan (bila berupa saluran tertutup).
v Hamparan petak-petak yang merupakan
bagian dari subak yang disebut Tempek atau Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan
saluran untuk membagi-bagikan air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan
yang disebut Kekalen
v Sistem pembuangan kolektif yang
disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya berupa saluran alam
(pangkung).
Sistem yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama
dengan jaringan teknis tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
a. Bendung pd subak disebut
empelan
b. Pemasukan (intake) = bungas
c. Saluran primer = telabah gede
d. Bangunan bagi sekunder = tembuku
e. Saluran sekunder = Telabah
f. Bangunan bagi tersier = tembuku
pemaron
g. Saluran tersier = telabah pemaron
h. Bangunan bagi kuarter = tembuku
cerik
i.
Saluran
kuarter = telabah cerik
Dengan demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa
sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi
untuk mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat
(petani). Selanjutnya agama Hindu yang berkembang pada saat itu di Bali yang
memiliki konsep THK, yang dianut oleh para raja dan masyarakat setempat,
dijadikan juga sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan
kegiatannya untuk mengelola air irigasi di lahan sawah. Perkembangan/perubahan
yang tampak terjadi pada sistem irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo
(1996) sebagai suatu proses transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya.
Kemudian dalam perannya sebagai pengelola pertanian
beririgasi, maka seperti yang dikemukakan Pusposutardjo (1997), ternyata
komponen manusia dalam sistem subak sangat dominan dalam sistem pengelolaan
irigasi, yakni dalam aktifitasnya untuk mengendalikan pasokan air yang dinamis
pada sistem pertanian tersebut.
Adapun hal yang penting dan mendasar dalam kajian ini
adalah berkait dengan peranan subak sebagai institusi adat pendayaguna air,
yang diharapkan mampu memecahkan masalah yang muncul secara integratif melalui
pendekatan sosio kultural di tengahh-tengah arus perkembangan teknologi dan
perubahan sikap hidup manusia.
Bila hal tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, maka
manfaat yang kiranya dapat dipetik adalah :
v Untuk ilmu
pengetahuan akan memperkaya bidang ilmu irigasi, khususnya dalam manajemen
irigasi (irrigation management) melalui hampiran sosio-teknis dengan kasus
subak di Bali yang berlandaskan THK, yang terbukti telah mampu mengembangkan
suatu manajemen pengelolaan sumberdaya air (khususnya irigasi), berdasarkan
pada aturan-aturan tertulisdan norma-norma religius/agama, sehingga dapat
memanfaatkan air (irigasi) untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Disamping itu, bermanfaat pula untuk membuktikan kebenaran bahwa sistem irigasi
subak adalah bersifat sosio-teknis, dalam batas-batas tertentu memiliki peluang
untuk ditransformasi ke wilayah lain. Ini berarti akan sekaligus pula
mempercepat proses pembangunan irigasi yang bercirikan THK.
v Untuk
pembangunan bangsa dan negara, diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat
bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya air di Bali, dan
kawasan lain yang serupa, yang dinilai sudah mengalami krisis air.
v Memecahkan
permaslahan yakni berupa konflik penggunaan air yang bersifat multi guna,
dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaan sesuai dengan hakekat THK
yang melandasi sistem subak.
2.4
Peranan Subak Dalam
Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Di masyarakat ada dua aliran tentang pengelolaan sumber daya
alam, termasuk sumber daya air yaitu sebagai berikut:
1. Aliran ekosentrik, yaitu yang lebih
bertitikberat pada kelestarian sumber daya alam, tanpa peduli kepada
kebutuhan hidup manusia.
2. Aliran antroposentrik, yaitu yang
lebih bertitikberat pada kebutuhan hidup manusia, yang kalau tidak diatur
dapat menjurus ke perusakan sumber daya alam
Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian
merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan
jumlah penduduk yang menunutut pertambahan pemukiman ,
transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia
modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah.
Misalnya di Jawa dan Bali, selama
periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184
ha dengan rata-rata 37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih
dipergunakan sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih
-fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).
Hasil penelitian JICA seperti
dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun
2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai
807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha
dan Sulawesi 35.000ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini
areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per
tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar kota
karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik sawah tergoda
untuk menjual sawahnya. Sampai tahun 1999 pencetakan sawah
baru dan alih fungsi lahan berjalan bersamaan. Secara agregat pencetakan
sawah baru justru menambah luas lahan sawah sekitar 1,6 juta ha
(Tabel 1). Lahan sawah bukaan baru belum dimanfaatkan, karena tanah bereaksi
masam dan kurang subur, lokasi terpencil (penduduk jarang) atau konstruksi
bangunan irigasi tidak tepat. Tampaknya aliran antroposentrik yang merasuk
ke pelaku pembangunan secara individual atau korporasi telah menghasilkan
pembangunan sistem irigasi yang sia-sia. Pada era otonomi daerah, alih fungsi
lahan lebih berorientasi ke peningkatan pendapatan asli daerah yang
berakibat terhadap bukan hanya berkurangnya luas lahan produktif, tetapi juga
kerusakan DAS hulu dan tengah yang berarti menyia-nyiakan dana yang telah
diinvestasikan untuk membangun jaringan irigasi.
Alih fungsi lahan sawah beririgasi
ke non-pertanian merupakan proses yang bersifat
irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi
lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi
ekonomi,sosial,budaya ,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible
(Nasoetion dan Winoto. 1996). Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal
sawah beririgasi terus berlanjut, dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan
warisan leluhur dan sudah terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah.
Kalau subak hilang, apakah kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi
karena diyakini bahwa subak bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar
dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu
yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada
lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai pengendali banjir dan pelestarian
lingkungan ( flood control and environment preservation). Sistem Subak
dapat hilang dan hanya menjadi bagian indah dari sejarah, kalau orientasi
pembangunan pemerintah daerah lebih tercurah ke pembangunan pariwisata (Pitana
2003; Arwata 2003). Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila
alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka
pemilik sawah di bagian hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan
air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama
sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak
saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996). Guna menghindari
berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerah-daerah yang telah memiliki Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu secara ketat dan konsisten.
Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar menyusun RUTR dengan memasukkan
potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya RUTR
yang telah disepakati agar
disosialisasikan kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program
pembangunan. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian
alih fungsi lahan selain penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:
v Penetapan mekanisme ganti rugi aset
negara dan masyarakat yang terkena alih fungsi Misalnya fasilitas irigasi yang
tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi petani karena air irgasinya
terputus.
v Berbagai peraturan dan perundangan
yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan
agar benar-benar ditegakkan secara konsekuen dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu
terhadap siapa saja yang melanggar.
v Jika diizinkan akan ada alih fungsi
maka organisasi P3A beserta PU Pengairan perlu dilibatkan dalam pengambilan
keputusan guna menghindari timbulnya konflik di belakang hari.
Ke depan, pengelolaan sumber daya, distribusi, dan
penggunaan air irigasi supaya menerapkan pendekatan yang berimbang, yaitu
memperhatikan keseimbangan yang harmonis antara aliran ekosentrik dan aliran
antroposentrik, disebut pendekatan eko-antroposentrik.
saya mohon maaf kalau ada yang salah,silahkan beri saran dan masukan untuk kesempurnaan deskri diatas
BalasHapusreferensinya mana bli?
BalasHapuscukup bagus deskripsinya bli.
BalasHapus