Selasa, 03 April 2012

Peranan Subak Sebagai Sistem Irigasi Tradisonal Bali Dalam Pengelolaan Air Irigasi dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Berdasarkan Atas Konsep Tri Hita Karana


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Subak dan Konsep Trihita Karana
      2.1.1 Pengertian Subak
      Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris- religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan dalam peraturan-daerah pemerintah daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/l972. Arif (l999) memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian, dan teknis irigasi.
      Subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan airnya yang berdasarkan pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama.
(Kadek Fendy Sutrisna,2011)
      Subak merupakan organisasi pengairan tradisional dalam bidang pertanian , yang berdasakan atas  seni dan budaya  yang diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat di Pulau Dewata.
( I Wayan Windia,2011)
      2.1.2 Pengertian Konsep Trihita Karana
Tri Hita Karana berarti tiga hubungan yang harmonis atau penyebab terwujudnya kesejahteraan hibup .
Bagian-bagian dari Tri Hita Karana yaitu:
1.      Parahyangan:
Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Pawongan:
Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak.
3.      Palemahan:
Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
2.2 Hubungan Subak Sebagai Sistem Irigasi Tradisional Bali Dengan Konsep Trihita Karana
Dalam pengelolaan Irigasi Subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri Hita Karana (THK) yang memiliki Hubungan timbale balik antara Parahyangan yakni Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang disebut dengan Krama Subak, Palemahan : Hubungan yang harmonis antara anggota Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
clip_image010
Gambar. Konsep Tri Hita Karana dalam pengelolaan subak
THK menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi akan dapat dihindari. terkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan kebersamaan dalam engelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar, dilakukan kebijakan sistem pelampias  memberikan tambahan air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokai bangunan-bagi lingkungan lingkungan 4 di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak.
Subak sebagai suatu sistem irigasi merupakan teknologi sepadan yang telah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Kesepadan teknologi system subak ditunjukkan oleh anggota subak tersebut melalui pemahaman terhadap cara pemanfaatan air irigasi yang berlanadaskan Tri Hita Karana (THK) yang menyatu dengan cara membuat bangunan dan jaringan fisik irigasi, cara mengoperasikan, kordinasi pelaksanaan operasi dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pekaseh (ketua subak), bentuk kelembagaan, dan informasi untuk pengelolaannya.
Sistem subak mampu melakukan pengelolaan irigasi dengan dasar-dasar harmoni dan kebersamaan sesuai dengan prinsip konsep THK, dan dengan dasar itu sistem subak mampu mengantisipasi kemungkinan kekurangan air (khususnya pada musim kemarau), dengan mengelola pelaksanaan pola tanam sesuai dengan peluang keberhasilannya. Selanjutnya, sistem subak sebagai teknologi sepadan, pada dasarnya memiliki peluang untuk ditransformasi, sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologinya dipenuhi.
2.3 Peranan Subak Dalam Pengelolaan Air Irigasi
Subak, merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan subak yang sudah hampir satu millenium sampai sekarang ini mengisyaratkan bahwa subak memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistansinya kini mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak adalah  bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang mengiringi derasnya arus globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali. Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak pemerhati irigasi di mancanegara.Sebab,  jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan Bali sampai sirna maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.
Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali, terutama karena upacara ritual keagamaan yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya, namun ia memiliki nilai-nilai leluhur yang bersifat universal dan sangat relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut adalah falsafah Tri Hita Karana( harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antaramanusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia)  yang  melandasi setiap kegiatan subak. Tri Hita Karana secara implisit mengandung pesan agar kita mengelola sumberdaya air secara arif  untuk menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, subak dapat didefinisikan sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah pengelolaa air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan palawija  Ketiga harmoni tadi menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai. DAS dari hulu ke hilir dikelompokkan menjadi:
  1. DAS hulu, sebagai zona tangkapan air, maka hutan-hutan dijaga agar kemampuan menampung air hujan besar.
  2. DAS tengah, sebagai zona konservasi air dan zona penggunaan air, yang diwujudkan dalam bentuk sistem usahatani konservasi atau wanatani (agroforestry).
  3. DAS hilir, sebagai zona penggunaan air, di mana sawah irigasi dominan. Subak lokal di DAS hilir mengurus dan memperhatikan pembagian air irigasi dan pengendalian cara penggunaan air oleh anggotanya dengan berpedoman kepada awig-awig (peraturan tertulis dan sanksi atas pelanggaran).
Sistem Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan keputusan seyogianya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development) telah diimplementasikan dalam sistem Subak. Subak memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan “Standar Perencanaan Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan jaringan irigasinya telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang disyaratkan yaitu :
v  Bangunan utama disebut empelan (bendung) atau buka (intake)
v  Saluran disebut telabah (bila berupa saluran terbuka) atau aungan (bila berupa saluran tertutup).
v  Hamparan petak-petak yang merupakan bagian dari subak yang disebut Tempek  atau Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan saluran untuk membagi-bagikan air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan yang disebut Kekalen
v  Sistem pembuangan kolektif yang disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya berupa saluran alam (pangkung).
Sistem yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama dengan jaringan teknis tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
a.       Bendung  pd subak disebut empelan
b.      Pemasukan (intake) = bungas
c.       Saluran primer = telabah gede
d.      Bangunan bagi sekunder = tembuku
e.       Saluran sekunder = Telabah                                                                      
f.       Bangunan bagi tersier = tembuku pemaron
g.      Saluran tersier = telabah pemaron
h.      Bangunan bagi kuarter = tembuku cerik
i.        Saluran kuarter = telabah cerik
Dengan demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya agama Hindu yang berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki konsep THK, yang dianut oleh para raja dan masyarakat setempat, dijadikan juga sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi di lahan sawah. Perkembangan/perubahan yang tampak terjadi pada sistem irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo (1996) sebagai suatu proses transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya.
Kemudian dalam perannya sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan Pusposutardjo (1997), ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktifitasnya untuk mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian tersebut.
Adapun hal yang penting dan mendasar dalam kajian ini adalah berkait dengan peranan subak sebagai institusi adat pendayaguna air, yang diharapkan mampu memecahkan masalah yang muncul secara integratif melalui pendekatan sosio kultural di tengahh-tengah arus perkembangan teknologi dan perubahan sikap hidup manusia.
Bila hal tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, maka manfaat yang kiranya dapat dipetik adalah :
v  Untuk ilmu pengetahuan akan memperkaya bidang ilmu irigasi, khususnya dalam manajemen irigasi (irrigation management) melalui hampiran sosio-teknis dengan kasus subak di Bali yang berlandaskan THK, yang terbukti telah mampu mengembangkan suatu manajemen pengelolaan sumberdaya air (khususnya irigasi), berdasarkan pada aturan-aturan tertulisdan norma-norma religius/agama, sehingga dapat memanfaatkan air (irigasi) untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan. Disamping itu, bermanfaat pula untuk membuktikan kebenaran bahwa sistem irigasi subak adalah bersifat sosio-teknis, dalam batas-batas tertentu memiliki peluang untuk ditransformasi ke wilayah lain. Ini berarti akan sekaligus pula mempercepat proses pembangunan irigasi yang bercirikan THK.
v  Untuk pembangunan bangsa dan negara, diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya air di Bali, dan kawasan lain yang serupa, yang dinilai sudah mengalami krisis air.
v  Memecahkan permaslahan yakni berupa konflik penggunaan air yang bersifat multi guna, dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaan sesuai dengan hakekat THK yang  melandasi sistem subak.

2.4 Peranan Subak Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan
      Di masyarakat ada dua aliran tentang pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya air yaitu sebagai berikut:
1.      Aliran ekosentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kelestarian sumber daya alam, tanpa peduli kepada kebutuhan hidup manusia.
2.      Aliran antroposentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kebutuhan hidup manusia, yang kalau tidak diatur dapat menjurus ke perusakan sumber daya alam
      Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menunutut pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah. Misalnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata 37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ). Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya. Sampai tahun 1999 pencetakan sawah baru dan alih fungsi lahan berjalan bersamaan. Secara agregat pencetakan sawah baru justru menambah luas lahan sawah sekitar 1,6 juta ha (Tabel 1). Lahan sawah bukaan baru belum dimanfaatkan, karena tanah bereaksi masam dan kurang subur, lokasi terpencil (penduduk jarang) atau konstruksi bangunan irigasi tidak tepat. Tampaknya aliran antroposentrik yang merasuk ke pelaku pembangunan secara individual atau korporasi telah menghasilkan pembangunan sistem irigasi yang sia-sia. Pada era otonomi daerah, alih fungsi lahan lebih berorientasi ke peningkatan pendapatan asli daerah yang berakibat terhadap bukan hanya berkurangnya luas lahan produktif, tetapi juga kerusakan DAS hulu dan tengah yang berarti menyia-nyiakan dana yang telah diinvestasikan untuk membangun jaringan irigasi. Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian merupakan proses yang bersifat irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi,sosial,budaya ,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto. 1996). Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah beririgasi terus berlanjut, dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan warisan leluhur dan sudah terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah. Kalau subak hilang, apakah kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi karena diyakini bahwa subak bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai pengendali banjir dan pelestarian lingkungan ( flood control and environment preservation). Sistem Subak dapat hilang dan hanya menjadi bagian indah dari sejarah, kalau orientasi pembangunan pemerintah daerah lebih tercurah ke pembangunan pariwisata (Pitana 2003; Arwata 2003). Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996). Guna menghindari berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerah-daerah yang telah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu secara ketat dan konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar menyusun RUTR dengan memasukkan potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya RUTR yang telah disepakati agar disosialisasikan kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program pembangunan. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan selain penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:
v  Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan masyarakat yang terkena alih fungsi Misalnya fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi petani karena air irgasinya terputus.
v  Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar ditegakkan secara konsekuen dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang melanggar.
v  Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A beserta PU Pengairan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan guna menghindari timbulnya konflik di belakang hari.
Ke depan, pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi supaya menerapkan pendekatan yang berimbang, yaitu memperhatikan keseimbangan yang harmonis antara aliran ekosentrik dan aliran antroposentrik, disebut pendekatan eko-antroposentrik.



3 komentar:

  1. saya mohon maaf kalau ada yang salah,silahkan beri saran dan masukan untuk kesempurnaan deskri diatas

    BalasHapus
  2. cukup bagus deskripsinya bli.

    BalasHapus